087894224928

Surabaya - Jawa Timur

JUALAN PULSA KINI MENJADI LEBIH GAMPANG !

Senin, 07 Februari 2022

Facebook Ads dan Marketplace yang semakin menjadi ajang iklan 'sampah' di media sosial

 


Oalahhh..astagfirulahhh...tapi keren juga ya iklannya nampilin b*k*ng + ba**k, cocok nih produknya buat bapak-bapak yang kejantanannya mulai dipertanyakan. Namun saya berpikir, apakah iklan ini muncul juga di marketplace facebook istri saya ? Jeng-jeng...ternyata muncul juga ! Gimana kalau yg ngelihat anak-anak ? Gila deh facebook kok ngijinin iklan model gini ? Algoritmanya bagaimana sih ?


Ini menjadi episode 'kesel' saya ke sekian kalinya kepada Facebook, kini berjualan produk yg menyerempet dunia digital semisal ANTENA TV DIGITAL atau receiver / STB digital, ini otomatis di tolak karena memang facebook marketplace melarang berjualan produk media digital seperti berlangganan disney+ netflix dll. Imbasnya semua yg berhubungan dengan TV + Digital sepertinya akan susah masuk ke saringannya marketplace. Walaupun anda memanfaatkan produk FBADS yang notabene berbayar, ini tetap saja enggagement-nya iklan dan leads ke salesnya sangat jauh dibanding iklan vitamale yg muncul terus diberanda padahal iklan itu GRATIS di marketplace.



Saya diperkenalkan dengan tokoh internet marketers (Imers) diatas sekitar tahun 2013, ketika salah satu teman ikutan workshopnya di kota surabaya. Saking getolnya teman saya ini menggeluti imers, facebook saya "terbanjiri" oleh timeline nya teman saya yg berjualan jas hujan lewat kaskus jaman itu. Namun hal yg jadi keheranan saya adalah, iklannya si dewa selling ini ikutan juga muncul di beranda, baik berupa tawaran buku, seminar bahkan aplikasi pencari calon pembeli. 

Secara tidak sengaja pada tahun-tahun 2013 itu, saya tersadar dan menemukan bahwa ini adalah sebuah algoritma yang diberikan oleh facebook ke iklan (berbayar) menjadi sesuai dengan apa yg saya sedang "getol" scroll di facebook. Dan kecurigaan saya menjadi nyata saat PILPRES 2014, team jokowi sangat sadar akan facebook ads dan mulai menampilkan iklan tidak langsung melalui media atau surat kabar online yg beriklan melalui berita bombastis yg menyanjung prestasi jokowi. Dan ini berhasil menjadikan jokowi media darling sampai hasilnya terbukti menjadi presiden RI ke-7.





Saya pun menjadi tertarik mempelajarinya sembari mengikuti timeline si teman yg juga jualannya laris akibat facebook ads, namun saya belajarnya melalui help dan praktek langsung di facebooknya. Waktu itu saya jualan software display informasi kepada rumah sakit se NKRI. Bener sekali larisnya bukan main, dengan menargetkan iklan ke mereka yg bekerja sebagai tenaga kesehatan, dokter dan "kementrian kesehatan Republik Indonesia". Sekali iklan tayang dengan budget cuman 100rb, telpon-sms-wa berdering tiada hentinya. Iklan saya sukses karena tampil di timeline facebook orang yang sesuai dengan produk yg saya tawarkan.

Pola keberhasilan FBads melalui iklan tertarget ini juga saya terapkan saat berjualan jasa parabola mini dan tv kabel hotel disekitar tahun 2017 - 2020, larisnya bukan main sampai saya memiliki karyawan dan teknisi lepas diberbagai daerah se NKRI. Manis banget dijaman sebelum pandemi itu dan semuanya terhenti saat pandemi. Ohhh corona menjadi kambing hitam bagi saya, mungkin daya beli masyarakat menurun. Saya mundur aja dulu mungkin ini saatnya belajar lagi, gak usah dipaksakan wong masyarakat lagi susah bareng-bareng.





Terkejutnya saya ketika di tahun 2021 ada selentingan dari dewanya Imers Indonesia yg menyatakan mundur dari dunia periklanan FBads+IG, walau sebagian orang menganggap ini gimmick namun mereka yg saya anggap angkatan awal yg sempet rame bersliweran dengan tawaran seminar-buku-workshop FBads, kini tak muncul lagi diberbagai platform media sosial. Malah yg rame cara marketing dengan flexing kekayaan dengan bermewah-mewah namun ujungnya jualan produk. Fenomena apakah ini ?





Algoritma FBads telah berubah semenjak markZ dipanggil senat amerika dan secara tidak langsung menekan mereka untuk tidak mencuri data preferensi pelanggan. Ya tentu saja ini berdampak baik bagi politik di amerika dan negara manapun karena kejadian ketika paman donald trump pada 2016 banyak menggunakan facebook untuk menggiring opini publik. Juga banyak kejadian pergolakan politik yg dikompori oleh FB dengan algoritmanya.


Jadi ketika FB menghilangkan sedikit algoritma yg berhubungan dengan preferensi pengguna FB, maka ini menjadikan efek yg buruk kepada keberhasilan penawaran barang dan jasa yg saya lakukan selama ini. Terjawab sudah iklan saya menjadi melenceng karena FBads menyajikan iklan saya ke orang yang tidak benar. Masak sih saya iklan TV kabel ke bapak-bapak yang mencari obat kuat nyogrok ba**k ? Apa saya jualan obat kuat aja kali ya ? Eaaalaahhhhh ...

Sabtu, 05 Februari 2022

Flexing - Sebuah Fenomena yang Sebenarnya Biasa-Biasa Saja

Sembari nyeruput susu coklat yang manis dan segar di pagi hari, saya menikmati video terbaru yang diunggah Tjandra Tedja. Tedja, yang aktif memberitakan mengenai masalah “robot trading”, money game, dan hal sejenis, menceritakan fenomena “flexing” yang ramai dibicarakan warganet Indonesia beberapa hari belakangan. Dalam video tersebut, dengan membandingkan “orang kaya beneran” seperti pemilik Djarum atau BCA yang tampil sederhana meskipun memiliki kekayaan yang luar biasa, dengan “crazy rich” seperti Indra Kesuma (indrakenz) yang memamerkan kekayaan yang ia dapat sebagai affiliator Binomo (salah satunya), Tedja mengatakan bahwa banyak orang terjebak dalam perangkap “flexing” ini.


Bagi yang terbiasa menggunakan Instagram (atau mungkin TikTok dan platform sejenis), fenomena flexing bukanlah sesuatu yang baru. Media yang mengutamakan postingan berupa audio-visual (gambar dan video) tersebut dapat membuat seseorang menciptakan realita mereka sendiri. Dengan sedikit manipulasi di sana-sini, realita yang mereka ciptakan bisa jauh berbanding terbalik dengan kehidupan nyata yang mereka jalani sehari-hari. Contoh nyata dari hal ini? Postingan Oceane El Himer yang memposting foto di sebuah kelas bisnis pesawat terbang, meskipun kenyataan mengatakan bahwa ia terbang menggunakan kelas ekonomi yang ramai pada Juni 2021 lalu.


Bagi penggiat MLM, money game, dan bisnis-bisnis serupa demikian, flexing sangat diharapkan untuk dilakukan. Dengan melakukan ini, diharapkan calon “pelanggan” dapat terpincut foto-foto yang dipamerkan, sehingga mereka mau menjadi downline kita. Dalam kasus MLM, ia diharapkan dapat ikut berpartisipasi, membeli produk ataupun menjadi bawahan kita dalam skema MLM, entah matahari atau binary. Dalam money game, flexing dapat membantu kita menarik banyak calon korban baru, mengambil uang mereka.


Banyak contoh mengenai flexing ini. Dalam kasus MLM, MSS, PT. BEST, dan perusahaan sejenis, memamerkan foto di depan mobil, rumah, ataupun bonus yang didapatkan merupakan hal utama yang harus dilakukan untuk meyakinkan orang lain bahwa bisnis tersebut menguntungkan. Dengan menunjukan kekayaan pemilik perusahaan ataupun member yang meraih banyak bonus, diharapkan dapat memastikan kebenaran kepada khalayak bahwa perusahaan tersebut bonafide, benar-benar dapat menjamin penghasilan yang mapan. Dalam kasus money game, seperti Vtube, flexing yang dilakukan tidak hanya dengan memamerkan mobil yang ditempeli stiker Vtube semata. Dalam banyak kasus, mereka memamerkan uang hasil penjualan VP, ataupun memposting dan menyebarkan postingan yang menggambarkan seseorang yang sedang melakukan fast track.


Mengingat sekarang kita hidup dalam dunia yang hiperrealis, ketika kebenaran kita lihat tidak seperti yang digambarkan sesungguhnya, fenomena flexing akan terus berlanjut. Dan, dalam bisnis MLM, money game, serta bisnis sejenis, flexing malah menjadi semacam kewajiban yang harus dilakukan. Akan sulit membayangkan sebuah MLM atau money game bisa menggaet banyak korban jika tidak ada orang atau kelompok yang flexing, dan menyebarkannya…


*)disadur dari grup MAP

Rabu, 02 Februari 2022

Dummy Leader dan Afiliator Money Game Ponzi

Dalam pembentukan sebuah skema ponzi dan money game, setelah perangkat utama ada (program bisnis atau aplikasi) maka yang dibentuk adalah jaringan.




Disinilah muncul yang saya sebut Dummy Leader (leader boneka/disingkat DL) yaitu orang-orang yang memang sengaja direkrut menjadi pembuka jalan dan membentuk jaringan ke bawah (pertama kali saya gunakan kata DL ini dalam kasus VTube). 


Biasanya memang yang sudah berpengalaman dalam bisnis jaringan hingga sudah memiliki kemampuan membaca target pasar, menguasai emosi konsumen, dan mampu mempengaruhi massa dengan ucapan/tulisannya.


Tugas mereka adalah membuat promosi seluas-luasnya, merekrut member sebanyak-banyaknya, menjadi pintu tanya jawab dengan calon member, mengarahkan solusi bagi kelompok dibawahnya, bahkan menjadi tukang debat paling depan jika bertemu yang anti/haters.





Secara umum mereka adalah kaki tangan bahkan tangan kanan perusahaan.Tentu ada semacam komisi/bonus tertentu yang diperoleh  dengan peran yang mereka mainkan. Ada yang berbentuk komisi perekrutan, komisi deposit/top up, bonus defense media, dan bahkan mungkin sudah ada kontrak dengan sejumlah gaji yang diberikan oleh owner.


Menurut pengamatan saya, DL ini bisa sampai pada turunan pertama di bawah DL utama. Dibuat memang oleh perusahaan dibawah DL utama atau dibuat sendiri oleh DL bersangkutan untuk kepentingannya sendiri.




Ini banyak kita temui pada entitas/aplikasi yang bermain halus dengan meniadakan aliran dana langsung ke perusahaan sehingga tidak berbenturan dengan aturan pengalangan dana masyarakat secara ilegal.


Cara ini mulai lebih banyak muncul dalam beberapa tahun terakhir dibandingkan dengan cara kasar yang langsung mengarahkan aliran dana deposit/top up member ke rekening perusahaan. Hubungannya dengan Afiliator adalah kesamaan tugas dan fungsinya yaitu orang yang "mengendorse" sebuah produk dengan tujuan menarik minat masyarakat agar mengikutinya.


Kebanyakan yang menjadi afiliator adalah para publik figur/influencer hingga memperluas pangsa pasar yang ingin dicapai. Hal yang banyak dibicarakan pada saat ini adalah aktor intelektual yang menjadi dalang dan pemodal bagi program bisnis berskema ponzi dan money game ini.


Bisa dikatakan para direktur utama, CEO, pemimpin perusahaan, manajemen perusahaan, dan banyak penyebutan lainnya hanyalah "Frontman" yang diletakkan didepan. Sementara aktor utamanya alias  dalang yang bermain dibalik layar masih sangat sulit untuk dideteksi publik.





Bukan rahasia lagi dan sudah diketahui khalayak ramai jika bisnis seperti ini banyak dijalankan oleh para oknum yang tahu aturan hukum bahkan memiliki jabatan penting di lembaga pemerintahan.


Kita nantikan kinerja aparat terkait mengungkapnya agar bisa mengurangi maraknya bisnis skema ponzi dan money game.



disadur dari grup MAP

Rabu, 19 Januari 2022

Transaksi Kios Pulsa Pidgin - Telegram Makin Aman Dengan Sekuriti 2 Faktor

Software alat bantu transaksi " Kios Pulsa Gratis " tidak terasa sudah lebih dari 10 tahun saya kembangkan dan yang menjadi favorit yg masih digunakan sekarang adalah versi PIDGIN melalui TELEGRAM. 




Untuk penggunaannya silahkan download Software pulsa pidgin DISINI , lalu download software mesenger Pidgin serta file plugin telegram ini dan copykan file sesuai gambar diatas. Jangan lupa setelah install pluginnya restart aplikasi pidgin nya. Perhatikan jika ada revisi terbaru dari plugin  telegram di sini :  https://eion.robbmob.com/tdlib/ untuk mendapatkan transaksi yang lancar.


Saat ini banyak pengguna telegram yang mengalami masalah akunnya di hack dan dicuri oleh orang yang tidak bertangung jawab. Dan kemarin lalu kami dapat kiriman pesan melalui email dan mereka menanyakan bang bagaimana cara mengamankan akun telegram, sebenarnya ada banyak cara mengamankan akun telegram terutama kita bisa menggunakan fitur autentikasi dua faktor telegram.







Cara Mengaktifkan Autentikasi Dua Faktor Telegram Agar Akun Telegram Aman


Di artikel ini saya menggunakan telegram web yang sudah saya hubungkan melalui telegram desktop, kamu juga bisa mempraktekan tutorial dari kami di telegram android, oh iya sebelum kalian masuk ke tutorial kami lebih lanjut kamu harus menyiapkan satu gmail aktif dan nomor hp yang aktif yang nantinya akan kita gunakan untuk verifikasi akun telegram melalui nomor hp, dan email.


1. Masuk Ke Settings


Langkah pertama kamu buka telegram di android atau desktop kemudian buka menu ≡ setelah itu kamu akan menemukan menu lanjutan selanjutnya kamu tinggal masuk ke settings.


2. Buka Fitur Privacy And Security


Langkah kedua setelah kamu sudah berada di menu settings atau pengaturan telegram langkah selanjutnya kamu buka fitur privacy and security.


3. Two-Step Verification


Langkah ketiga setelah kamu sudah berada di menu privacy and security langkah selanjutnya buka menu two-step verification.



4. Set Password


Di bagian ini kamu diminta untuk memasukan password akun telegram kamu klik saja set password.


5. Masukan Password Akun Telegram Kamu


Selanjutnya di tahap ini kamu akan menemukan dua tampilan Enter a password, dan Re-Enter Your password kamu diminta untuk memasukan password akun telegram kamu sebanyak 2x kemudian klik continue.


6. Buat Password Hint


Langkah ke enam di bagian password hint kamu bebas mau isi atau tidak, kalau kamu mau buat password hint kamu bisa isi di bagian kolom yang sudah di sediakan kalau kamu sudah buat klik continue, disini saya memilih skip saja, jadi suatu saat kalau saya lupa password hint saja saya tidak perlu repot lagi mengingat password hint dan memasukan password hint sewaktu login atau akun telegram saya bermasalah di kemudian hari jadi saya pilih skip


7. Pasang Email Pemulihan


Selanjutnya di bagian recovery email ini merupakan bagian yang sangat penting kita dimiinta memasukan email pemulihan yang dimana nantinya kalau akun kita lupa kata sandi, lupa hint verifikasi dua faktor atau masalah lain kita bisa meresetnya melalui email pemulihan di bagian ini kami sarankan kamu isi dan masukan email pemulihan, ingat kamu harus memasukan email yang aktif kalau sudah kamu masukan email klik continue.


8. Masukan Kode Recovery Email


Setelah kamu sudah memasukan email recovery selanjutnya di bagian recovery email code kamu diminta untuk memasukan kode 6 digit yang dikirimkan melalui alamat email kamu, kamu check di folder inbox dan spam kalau sudah mendapatkan kode recovery email code langkah selanjutnya kamu masukan kode tersebut di bagian kolom your email code.


9. Password Set

Di bagian Password Set! kamu klik saja Return To Settings


10. Fitur Autentifikasi Dua Faktor Telegram Sudah Aktif


Terakhir kita sudah berhasil mengaktifkan fitur autentikasi dua faktor di akun telegram kita, tandanya kalau kita sudah mengaktifkan fitur autentikasi dua faktor di telegram di bagian Two-Step Verification dalam keadaan On yang berarti kita sudah mengaktifkan fitur autentikasi dua faktor.



Kamis, 12 Agustus 2021

Charles Tambu - Keturunan Tamil Sri Lanka yg Jadi Diplomat Indonesia Masa Revolusi

Ada tokoh yg mungkin tidak terkenal, bahkan terlupakan, namun fotonya sering kita liat di buku pelajaran sejarah sejarah. Ia adalah Charles Tambu (1907-1965), diplomat Indonesia di awal kemerdekaan. Siapa kah beliau dan apa jasa nya? Tambu smemiliki peran penting saat menjadi representatif pemerintah Indonesia dalam diplomasi internasional walaupun ia secara keturunan bukan bangsa Indonesia asli.




Charles Tambu adalah seorang lelaki berdarah Tamil dari orang tua yang merupakan imigran dari Sri Lanka. Akan tetapi ia sangat bersimpati kepada perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. “Charles Tambu: Turunan asing tapi djiwanja Indonesia”, demikian tulis Madjalah Merdeka, No. 43, Th. II, 22 Oktober 1949:4. 


Walau bukan berdarah Indonesia, walau asalnya jauh dari Ceylon sana, Tambu telah membela nama Indonesia di berbagai forum internasional, sejak dari New York sampai New Delhi, sejak dari Bangkok sampai Kuala Lumpur. Simpati Tambu terhadang bangsa Indonesia dan sokongan moral dan pengetahuan yang ia berikan bagi perjuangan bangsa Indonesia, telah menggugah hati Presiden Sukarno untuk memberinya paspor Indonesia. Selepas pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda tahun 1949, Tambu ditunjuk oleh Presiden Sukarno menjadi Konsul Jenderal Indonesia di Manila sampai 1953.


Apa yang hendak saya katakan adalah bawah kisah Charles Tambu memberi gambaran bahwa Republik Indonesia tampak lebih dewasa di usia mudanya dulu di tahun 1940an dan 1950an ketimbang sekarang. Identitas, kebangsaan, nasionalisme di zaman yang heroik itu tidak diukur melalui sekeping buku tipis yang disebut paspor. 


Delegasi Indonesia di PBB, New York, 1947: St. Sjahrir, Haji Agus Salim,
Sumitro Djojohadikusumo, Sudjatmoko, dan Charles Tambu. 



Sebuah ironi yang menyedihkan memang. Di tahun 1940an, Presiden Sukarno, dengan otoritas politik yang ada pada dirinya, langsung menerbitkan paspor Indonesia untuk Charles Tambu, seorang anak imigran yang berasal dari Sri Lanka, yang pernah diejek oleh Belanda sebagai "seorang tambi jang lari dari Singapura, kemudian bercollaborasi dengan Djepang, lalu mendjadi kaki tangan Republik Sukarno-Hatta...” (Madjalah Merdeka, No. 43, Th. II, 22 Oktober 1949: 4), yang bersimpati sepenuh hati dan jiwa kepada perjuangan kemerdekaan Indonesia. 


Kini di tahun 2021, menjelang peringatan 76 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, seorang Indonesia asli seasli-aslinya, yang asal suku, tanggal dan tempat kelahirannya begitu jelas (di Sumatera Barat), yang memiliki niat luhur untuk membangun negerinya sendiri, DITOLAK oleh bangsanya sendiri, hanya karena ia (pernah) memiliki paspor Amerika, negeri tempat ia merantau dan menuntut ilmu, yang mungkin dimilikinya dengan alasan-alasan praktis demi memudahkan urusan hidupnya dan keluarganya sehari-hari jauh di rantau orang, tempat ia dan keluarganya sudah cukup lama tinggal. 


Pemerintah India dan Israel menerima para diasporanya yang ingin membangun negerinya sendiri, apapun jenis dan warna paspor mereka, tanpa niat mempersulit anak bangsanya yang merantau di luar negeri yang berniat membangun negeri mereka. 

Selasa, 27 Juli 2021

Hidilyn Diaz : Terjebak PPKM di Malaysia Hingga Dapat Emas Olimpiade

Atlet angkat besi Filipina Hidilyn Diaz mengucapkan terima kasih kepada Malaysia setelah meraih medali emas di nomor 55 kilogram putri di Olimpiade Tokyo 2020 kemarin.


Juara dunia berusia 30 tahun itu melakukan angkatan seberat 224 kilogram untuk menyalip atlet China Liao Qiuyin dan atlet Kazakhstan Zulfiya Chinshanlo untuk menjadi juara dengan memecahkan rekor Olimpiade.





Itu juga merupakan medali emas Filipina pertama dalam sejarah Olimpiade.


Namun, kesuksesan itu tidak datang dengan mudah, karena ia melalui berbagai cobaan jelang Tokyo 2020


Diaz dan timnya terdampar di Malaysia tahun lalu menyusul Perintah Pengendalian Gerakan (PKP) yang diterapkan Pemerintah Malaysia untuk menekan penyebaran wabah COVID-19.

Untungnya, ia mendapat bantuan dari komunitas angkat besi di Jasin, Melaka, yang memungkinkannya untuk melanjutkan latihannya jelang perhelatan olahraga terbesar dunia itu.


"Perjalanan saya ke Tokyo 2020 sangat menantang. Saya sangat bersyukur kepada Tuhan yang telah mengirim saya ke Malaysia untuk berlatih dengan baik," katanya dalam konferensi pers.

“Dia mengirimi saya banyak orang seperti komunitas angkat besi di Filipina dan Malaysia, yang banyak membantu saya dalam perjalanan ini.


“Saya berterima kasih kepada orang-orang di Jasin, Melaka, yang memberi saya tempat tinggal dan gym ketika saya dalam pergolakan tidak tahu ke mana harus pergi. Saya mungkin tidak di rumah tetapi saya merasa seperti berada di rumah saat berada di rumah. Malaysia.





“Untuk semua teman-teman saya di Melaka dan semua orang Malaysia yang membantu saya, terima kasih banyak telah membantu kami. Saya mungkin tidak bisa melewatinya atau memenangkan medali emas ini tanpa kalian.


"Terima kasih, Malaysia Boleh," katanya.


Diaz pun mengaku siap kembali ke Melaka untuk melanjutkan latihannya.


“Saya akan kembali ke Melaka. Bagi saya, saya masih perlu melanjutkan latihan untuk mempertahankan status saya.

“Kami tidak selalu akan menjadi juara dan masih harus berlatih dan bekerja keras.

“Saya pikir Melaka adalah tempat terbaik untuk pelatihan saya selama pandemi ini,” tambahnya.



Terjebak PPKM (PKP istilah malaysianya) di Melaka


Diaz dan timnya tiba di Malaka 10 bulan lalu untuk mendirikan kamp pelatihan bagi upaya Zamboanguena untuk lolos ke Tokyo 2020 untuk apa yang bisa menjadi Olimpiade keempat berturut-turut sejak Beijing 2008 ketika dia masih berusia 18 tahun.





Tetapi pandemi Covid-19 melanda dan dunia terdiam dan Tim Diaz menemukan diri mereka terdampar di Malaysia.


Jangan khawatir untuk Diaz, pelatih kekuatan dan pengkondisiannya Julius Naranjo dan Pelatih Cina Kaiwan Gao meskipun karena pemerintah Malaysia menyambut tim dengan tangan terbuka dan memberi mereka visa selama setahun yang berakhir, ya, pada hari ulang tahun Olimpiade.


“Mereka [pemerintah Malaysia] memberi kami visa selama satu tahun dan mereka memperlakukan kami seperti keluarga di sini,” kata Diaz kepada BusinessMirror pada hari Jumat. "Mereka memperlakukan kami seperti mereka sendiri dan mereka membiarkan kami berlatih di pusat pelatihan mereka ketika saya tidak punya tempat untuk berlatih."


Diaz akan secara resmi mengklaim tiketnya ke Tokyo di kejuaraan dunia yang diselenggarakan Tashkent dari 15 hingga 25 April. Yang dia butuhkan hanyalah melangkah di jalur kompetisi, mengangkat barbel, dan secara resmi mengklaim slot ke Olimpiade.




Dunia Tashkent akan menjadi turnamen yang disetujui oleh Federasi Angkat Berat Internasional keenam Diaz, persyaratan minimum bagi seorang atlet angkat besi untuk lolos ke Tokyo — selama Anda berada di 8 besar dunia di kelas berat Anda.


“Mereka [pemerintah Malaysia] menemukan cara untuk membantu saya dan pelatih saya,” katanya. "Tidak ada persaingan di sini, kami adalah keluarga di sini."


Diaz mengatakan bahwa dia telah menikmati Malaka sejak itu.


"Seharusnya itu hanya pelatihan isolasi di sini di Malaysia," katanya. "Kami tidak pernah berharap untuk tinggal di sini terlalu lama."


Naranjo mengatakan mereka telah belajar untuk menikmati komunitas Malaysia.


"Kami diperlakukan seperti anggota keluarga mereka yang sebenarnya," katanya. "Kami menyesuaikan dengan apa pun yang terjadi dan itu yang terbaik untuk Hidilyn dan tim intinya."


Jika dia tidak mengangkat baja, Diaz memasak masakan Filipina seperti adobo dan tinolang manok. Mereka belajar untuk menyukai makanan halal tetapi mereka berhasil menikmati daging babi setidaknya sekali seminggu.


“Seminggu sekali, kami makan babi di restoran Cina,” kata Diaz, yang menjalani delapan hingga sembilan sesi pelatihan seminggu dan juga menghadiri kelas online.

Jumat, 23 Juli 2021

Ben Johnson - The Great Seoul Olympic Scandals


Ben Johnson was the last man to settle into his blocks at the Seoul Olympic Stadium.


It was September 24, 1988, a heartbeat before the start of the 100 meters final and what was to become the most infamous sporting moment in Olympic history.

Johnson, like the rest of an-all star field that included then Olympic champion and fierce rival Carl Lewis, former world record holder Calvin Smith and future gold medalist Linford Christie, paced back and forth like caged panthers seeking the psychological advantage of settling last.

The field stretched, hopped and feinted as they pretended not to look at each other. Johnson merely stared straight ahead, unblinking. Inevitably it was he who won the first battle.

The gun fired and the Canadian leaped -- literally leaped -- from his starting position into a lead he would never lose.

Just 9.79 seconds later he had smashed the world record in a display of power and awe never before seen in track and field, against the greatest field of sprinters ever collected.

"Nobody," Johnson recalls in an interview with CNN, laughing in deep, long chugs, "nobody could touch my start."


What happened next has been seared into the collective memory of the Olympics ever since.


The image of a medal ceremony, more than 24 hours later where Carl Lewis still can't come to terms with where Johnson had found his extra power; the incredulity on the faces of the journalists present; the press conference afterward where a triumphant Johnson eulogized.

"I'd like to say my name is Benjamin Sinclair Johnson Jr, and this world record will last 50 years, maybe 100," he had told the room. Later he said: "A gold medal -- that's something no one can take away from you."





But they could take it away from him.

And they did.



Just 24 hours later Johnson had failed a drugs test when traces of the banned steroid stanozolol were found in his urine. And after delegation arrived at his room. Johnson handed the medal back to the IOC, much to the consternation of his mother. One of the International Olympic Committee (IOC) officials present described the scene as like a "wake."

"It is something that I can't watch because of what happened to me, you know?" says Johnson now of his emotions ahead of the 100m race in London, which will feature Jamaican sprinter Usain Bolt and will once again be most watched event at the games.

"It is a sad note how they left me, wringing me out. I don't really watch it. I just move on with my life."

The race was just one moment in a two-decade-long story that began with Johnson as a Jamaican immigrant in Canada. His rise to prominence on the track for his newly adopted country would end with a descent into sport drug use and finally disgrace.

Yet he wouldn't be the only one. Doping was so prevalent in the sport that six of the eight finalists that lined up on that September day in Seoul would fail drugs tests themselves or implicated in their use during their careers, including Lewis and Christie. As the writer Richard Moore describes in his new book on the 100m final in Seoul, it was the "Dirtiest Race in History."

The fight against drugs

"There was a huge problem with the fight against drugs," says Moore of attitudes against doping before the Seoul Olympics.

"Clearly it wasn't in the sport's interest to have the exposure for cheats so it was very much the fox guarding the hen house...It was a surprise to uncover how primitive that fight was back in those days. (Then head of the IOC Juan Antonio) Samaranch couldn't care one way or the other. He was ambivalent on the whole subject.

"There were one or two individuals in the IOC who were keen to fight it. But it was very limited."

Johnson began his career at a time of rudimentary doping controls that Moore dubs "the wild west." Born in Jamaica in 1961 into a working-class family in Falmouth, Johnson moved to Canada with his mother aged 15.

He found solace on the track and soon found his calling in sprinting. It was in Toronto's Scarborough district that Johnson would meet the man who would change his life forever: the trainer Charlie Francis.

South Sudan marathoner is an Olympian without a country

Francis was a former Canadian national sprinter who took Johnson under his wing and began a course of steroids for him in 1981 believing that it was the only way to compete in a sport riddled with drug use.

"The question is, why would you not if you know your competitors are getting away with it?" asks Moore.

"As Charlie Francis said: 'You can set your blocks up a meter behind the starting line or you could be equal.' And I think he was right. If you speak to anyone from that era they said he was right."

Francis' techniques helped Johnson find a new level. As Moore points out, Johnson "went from a scrawny guy to a muscle-bound freak" within a few years. He won bronze in the 100m final at the 1984 Los Angeles Olympics, as well as bronze in the 4x100m relay. But he was still way off the pace of Lewis, the golden boy of American track and field whose performances defined the L.A. Games.

A loaded field?





In the period between Los Angeles and Seoul, Johnson's work on and off the track was bearing fruit. He rose to be Canada's best sprinter and began to challenge Lewis, with whom he enjoyed a cantankerous rivalry. But for Johnson it was clear that he was not the only sprinter who was doping.

"It was something that I saw myself; people's profiles were changing very, very fast," Johnson says of how he viewed other athletes on the track at that time.


"Usually you don't ask what they were taking because you mind your own business and concentrate on yourself."

A harbinger of the Seoul Olympic scandal was the 1987 World Championships in Rome where, according to Moore, the catacombs that surrounded the practice arena next to the Colosseum were "a drugs den, full of needles and syringes." By now Johnson had established himself as world number one and set a new world record there. It was the fifth time in a row he had beaten Lewis.

The dirtiest race in history

The scene was set for the greatest 100m final of all time at Seoul. In many respects it still is, despite the taint of drugs. Only two of the eight runners remained clean throughout their careers: American sprinter Calvin Smith and the Brazilian Robson da Silva. But the race, even today, has an explosive power that makes it impossible to ignore, with four of the field breaking the 10-second barrier. Johnson, perhaps unsurprisingly, believes it is still the greatest race of all time.

"Regardless what the IOC think, it's definitely the best race ever run even though I hadn't run my best race yet and you can tell that I have more fuel left in the tank," he explains before claiming that drugs don't actually make you run faster.

"You only cheat if no one else was not doing it. I was aware of what other people were doing in the field. I just did it better than anyone else. It doesn't make you a fast runner ... It was my training regime that was better than the rest of the world. My training was tailored for Ben Johnson and my coach was a genius. Now the whole world is using my program."

The Jamaica-born Johnson

The rest of the world sees Johnson's legacy slightly differently. He was sent back in disgrace to an angry Canada that had embraced its adopted son only to feel humiliated in the eyes of the world. Johnson left for Seoul as a Canadian and returned Jamaica-born.

"I think it was racist the way it was spoken back then. It kind of hurts a little bit," he says of his return.

"They didn't give me the benefit of the doubt. They didn't protect me. If this was any other country in the world the government would have come in and protected the athletes."

Instead Johnson and his coach were called to the Dubin Inquiry, set up by the Canadian government to uncover the extent of drug use in sport. After initially denying he had taken steroids, Johnson admitted doping there for the first time. But it was the testimony of Francis, who died in 2010, that lifted the lid of the extent and scope of drug use in sport.

Unbelievably little was learned from the scandal.

"Absolutely nothing changed after 1988, nothing," says Moore. It would be, after all, a full 12 years before the World Anti Doping Agency (WADA) would be formed. What was the reason for the wait?

"They (the IOC) were very blasé about it. It wasn't a fight they wanted. It wasn't exactly great news for athletics or the Olympics, was it?" says Moore.

It wasn't until the Festina doping scandal broke at the 1998 Tour de France that things started to change, but only after IOC president Samaranch had made controversial comments to Spanish newspaper El Mundo that the number of banned drugs be slashed.


"He betrayed what he really thought and undermined their anti-doping efforts. They had to do something dramatic and set up WADA ... If those words hadn't been reported it might not have happened. That's what (former head of WADA) Dick Pound thinks."

A life less ordinary

But it was all too late for Johnson. A comeback was stillborn after he again failed a drugs test in 1993 and was banned for life. He spent the next few years drifting from job to job, at one point even working as a personal trainer in Libya for Colonel Gaddafi's son Saadi, who had pretensions of becoming a professional soccer player.

Today Johnson appears to have found a home and some stability. He now coaches aspiring soccer stars at the Genova International Soccer School in Italy. He still burns with what he sees as the unfairness of his treatment by the IOC, making conspiratorial claims that he was sacrificed while others were "protected who were taking the same thing."

Implausibly his latest theory is that he was sacrificed because of a dispute between rival shoe sponsors. Although in his book "Speed Trap" the late Francis -- who had been painfully honest about how he gave drugs to his athletes -- claimed there was no way Johnson could have failed a drugs test for stanozolol. The reason? He'd been giving him a different steroid altogether.

Johnson will always be a pariah, synonymous with those blistering few seconds when he flew too close to the sun before crashing back to earth. Yet the experience hasn't diminished his belief that he still deserves a place among the pantheon of greats.

"The runners today can't compare to what I was running 25 years ago," he claims, citing better, harder tracks more suited to the modern generation of sprinters. He believes he would break the 9.5 second barrier if running today.

"No sprinter today could bench-press 395 pounds. In 1987 to '88, I won 25 finals against the best sprinters and that never happened today. Unbeatable."

Even if today's sprinters couldn't possibly get away with taking drugs?

"I mean the doctors back then and now there's no difference. If you know what you are doing, these athletes can bypass the detecting at the front gate," he again claims conspiratorially.

"I know people are taking a lot of different drugs at the same time."

He again breaks into his deep, chugging laugh for the second, and last, time.

"And they're still running slower than me."

Torch starts final leg before London Olympics open



source: CNN

Join Our Newsletter