087894224928

Surabaya - Jawa Timur

JUALAN PULSA KINI MENJADI LEBIH GAMPANG !

Rabu, 30 Juni 2021

Jenderal Soekanto, Kisah Kapolri Miskin

“Kalau Pak Hoegeng banyak yang bilang miskin, Pak Kanto jauh lebih miskin.”




Pada 27 September 1945, hampir satu setengah bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Ito Keishi (Komisaris Polisi Tingkat I) Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo berangkat dari Sukabumi, Jawa Barat, menuju Jakarta. Sudah dua tahun Soekanto menjadi instruktur di Sekolah Kepolisian Jawa Keisatsu Gakko, Sukabumi.


Saat itu Soekanto merupakan salah satu dari segelintir warga Indonesia yang punya pangkat paling tinggi dalam kepolisian di bawah penjajahan Jepang. Soekanto “diparkir” sebagai instruktur di Sekolah Kepolisian lantaran dia dicurigai atasannya punya darah Belanda. Sebelum dikirim ke Sukabumi, sebenarnya dia punya jabatan lumayan strategis di Kepolisian Wilayah Jakarta.


Padahal tak ada darah asing di tubuh Soekanto. Ayahnya, Raden Martomihardjo, merupakan keturunan bangsawan asal Purworejo, Jawa Tengah, dan pernah menjadi wedana di daerah Tangerang, kini masuk Provinsi Banten. Ibunya, Kasmirah, berasal dari Ciawi, Bogor.  


“Kalau nggak ada Pak Kanto, nggak ada polisi seperti sekarang.”


Awaluddin Djamin, Kepala Polri periode 1978-1982





Selama di Sekolah Kepolisian, Soekanto diabaikan. Walaupun punya pangkat tinggi, dia tak mendapat tugas mengajar dan tak diberi wewenang apa pun. Tapi arah angin berubah sangat cepat. Jepang kalah perang dan Sukarno-Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Kendati pimpinan Sekolah Kepolisian berusaha menutupi kekalahan tentara Jepang, kabar itu sampai juga ke telinga Soekanto dan teman-temannya.


Maka berangkatlah Soekanto ke Jakarta untuk menyerahkan Sekolah Kepolisian kepada pemerintah Indonesia, yang baru berumur 40 hari. Lewat Sartono dan Iwa Koesoemasoemantri, yang sudah lama dia kenal, Soekanto diajak mengikuti rapat kabinet pertama pemerintah RI di bawah Presiden Sukarno pada 29 September 1945.


Begitu mendengar niat Soekanto, Presiden kontan memberikan perintah. “Segera bentuk Kepolisian Nasional,” kata Presiden kepada Soekanto, dikutip dalam buku Jenderal Polisi R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo: Bapak Kepolisian Negara RI. Tak disangka, tanpa persiapan, hari itu pula Soekanto dilantik sebagai Kepala Kepolisian Negara.





Soekanto sempat rikuh lantaran masih ada beberapa polisi yang lebih senior, seperti Ating Natakusumah, R. Soemarto, dan Asikin Natanegara. “Tidak, saya ingin kamu yang jadi Kepala Kepolisian Negara. Nanti hubungi saja yang lain dan ajak membangun Polisi Nasional,” kata Presiden Sukarno. Saat dilantik Presiden Sukarno, usia Soekanto memang masih sangat muda, baru 37 tahun.



Penunjukan Soekanto, menurut Toti Soebianto—belakangan jadi ajudan Soekanto—juga didukung pejabat-pejabat lain, seperti Sutan Sjahrir, Sartono, dan Chairul Saleh. Toti Soebianto adalah orang pertama yang dipanggil Soekanto untuk membantu merampungkan tugas-tugasnya.


Salah satu tugas pertama dari Presiden untuk Soekanto adalah merebut kembali Sekolah Kepolisian dari orang-orang Jepang. Tugas itu bisa dituntaskan dengan cepat oleh Soekanto dan anak buahnya. Tapi, di depan Soekanto, masih ada lautan masalah yang harus dia bereskan. Selama 14 tahun, dari 1945 hingga 1959, Soekanto menuntaskan banyak sekali pekerjaan dan membangun fondasi pertama bagi Kepolisian Republik Indonesia.


Tak hanya jadi Kepala Polri termuda, Soekanto juga merupakan Kapolri paling lama dalam sejarah negeri ini. Dia menghadapi sejumlah pemberontakan di pelbagai daerah, melewati pergantian pemimpin dan sistem pemerintahan, dari Sukarno, beralih ke Sjahrir, dan berkali-kali berganti perdana menteri.




Selama itu pula Soekanto mati-matian menjaga lembaga Kepolisian. “Soekanto memegang erat independensi Kepolisian supaya tidak rusak,” kata Ambar Wulan, sejarawan di Pusat Sejarah TNI. Dua kali Soekanto mengirimkan memo kepada anak buahnya di daerah supaya tak terlibat politik.


Saat Kepolisian masih di bawah Kementerian Dalam Negeri, Soekanto terus mendorong supaya lembaganya berada langsung di bawah presiden atau perdana menteri. Dia khawatir, jika Kepolisian ada di bawah Menteri Dalam Negeri, yang berasal dari partai politik, lembaganya bakal diseret ke kiri dan ke kanan. Akhirnya, sejak 1 Juli 1946, Kepolisian langsung berada di bawah kepala pemerintahan.


Nama Soekanto barangkali kalah tenar dibanding adik-adik kelasnya, seperti Hoegeng Imam Santoso, Muhammad Yasin, dan Anton Soedjarwo. “Padahal, kalau nggak ada Pak Kanto, nggak ada polisi seperti sekarang,” kata Awaluddin Djamin, Kepala Polri periode 1978-1982, kepada detikX.


Tak cuma Kapolri paling muda dan bertahan paling lama, Soekanto barangkali juga salah satu Kapolri paling miskin. “Kalau Pak Hoegeng banyak yang bilang miskin, Pak Kanto jauh lebih miskin,” kata Ambar. Jangankan rumah gedung di kawasan elite, seperti Menteng atau Pondok Indah, meski 14 tahun menjadi orang nomor satu di Kepolisian, Soekanto tak punya rumah pribadi.


Setelah dicopot dari jabatannya oleh Bung Karno pada Desember 1959, Soekanto segera meninggalkan rumah dinasnya di Jalan Diponegoro, Menteng, ke rumah kontrakan di Jalan Pegangsaan Timur. Tak banyak harta benda yang dibawa Soekanto. “Rumah itu sudah tua, pagar depannya rusak, dan bocor kalau hujan…. Kondisinya benar-benar tak seimbang dengan kedudukan beliau sebagai mantan Kepala Kepolisian Negara,” kata H.A. Koesnoro, teman lama sekaligus anak buah Soekanto. Tapi Soekanto, kata Koesnoro, sama sekali tak pernah mengeluh atau menyesali nasibnya.


Justru para mantan anak didik Soekanto yang tak enak hati melihat kondisi seniornya yang mengenaskan itu. Saat menjadi Kapolri, Awaluddin Djamin meminjamkan rumah dinas polisi di kawasan Jalan Prapanca, Jakarta Selatan. Jenderal Mochammad Sanoesi, yang menggantikan Awaluddin, memindahkan Soekanto ke kompleks pejabat Polri di Ragunan. “Sesudah beliau meninggal, ya rumah itu dikembalikan ke Polri,” kata Ambar Wulan.




Soekanto, yang tak punya keturunan, tidak meninggalkan warisan harta apa pun. Warisan Soekanto justru lebih besar, yakni lembaga Kepolisian yang dia bangun dari nol. Bayangkan saja, saat dia ditunjuk sebagai Kepala Kepolisian Negara, tidak hanya tak punya duit, anak buah pun belum ada.


Dia harus menghubungi, mengumpulkan, dan mengkonsolidasikan polisi-polisi hasil didikan Belanda dan Jepang yang tersebar di pelbagai daerah di seluruh Indonesia. Kendaraan dan telepon masih barang sangat langka. Selama tiga bulan pertama, Soekanto hanya punya tiga orang anak buah: ajudan Toti Soebianto, juru ketik Nyonya Soebadi, dan Sekretaris M. Oudang.


Sembari terus melakukan konsolidasi dengan mengirimkan kurir secara rutin ke semua daerah dan menghadapi para “raja kecil”, Polri saat itu juga harus ikut dalam upaya mempertahankan Kemerdekaan Indonesia dari rongrongan invasi Sekutu dan gerakan-gerakan separatis. Konsolidasi dan membangun kelengkapan organisasi polisi ini makan waktu bertahun-tahun karena memang sangat rumit dan pelik.


Sepanjang masa jabatannya, Soekanto membangun struktur polisi sampai ke pelosok-pelosok. Dia juga merintis pendirian Brigade Mobil, Polisi Lalu Lintas, Polisi Air dan Udara, Polisi Wanita, laboratorium kriminal, biro anak-anak, dan Interpol. Dia pulalah yang merintis pembangunan Markas Besar Polri. Hasil kerjanya sebagian besar masih bertahan hingga hari ini.


Di tengah suasana kacau seperti itu pun, Soekanto masih memikirkan pendidikan bagi polisi. Pada 17 Juni 1946, dia meresmikan berdirinya Sekolah Polisi Negara di Magelang, Jawa Tengah, dan Sukabumi. Tak sedikit yang bersuara miring soal pendirian sekolah di tengah-tengah masa revolusi. Menurut mereka, Sekolah Polisi bukan prioritas. Tapi Soekanto kukuh pada pendiriannya. Sekolah Polisi, kata Soekanto, sangat penting bagi masa depan Kepolisian Negara.


Awaluddin Djamin merupakan salah satu produk sistem pendidikan polisi yang digagas Soekanto. “Saya polisi yang menjadi doktor pertama dari republik yang sontoloyo ini. Saya dikirim untuk pendidikan S-2 dan S-3 ke Amerika. Yang dikirim Pak Kanto ada ratusan orang, tapi yang berhasil dapat gelar doktor cuma saya,” Awaluddin menuturkan. Merasa punya utang kepada Soekanto, sampai sekarang Awaluddin yang sudah sepuh itu masih terus memperjuangkan supaya seniornya tersebut diangkat sebagai Pahlawan Nasional.


sumber : DetikX

Tidak ada komentar:
Tulis komentar

Join Our Newsletter